Kamis, 15 Desember 2011

"P E R I H"

Oh Tuhan…..!!
Apa aku masih harus bersabar dan terus bersabar…?????
Belum cukupkah semua bahagia hilang sepanjang usiaku?
Atau… dia sama seperti yang lain…?
Datang hanya berikan harapan, tinggalkan cinta,
Terus campakkan daku dalam perih, pedih, miskin, sendirian dan kesepian.
Biarlah….. aku sudah cukup senang kenal bidadari sepertimu
Pernah tertawa bersamamu
Pernah memndang tanpa cela wajah cantikmu
Walau semuanya adalah benih luka yang tertunda dan terus tumbuh menyembilu
Aku tetap tak mengerti siapa aku bagimu…….
Jika kau bersedih dan menangis membaca ini , aku seribu kali lebih sedih dan perih..

Sang Penghianat

Sang penghianat tersenyum kantongi ribuan nafsu,
Dustanya mengalir banjiri gersang jiwa peragu,
Irama nafasnya ádalah tikaman belati,
Yang mengoyak tulus, hancurkan hati.

Sang penghianat bergetar nikmati kemenangan liar,
Mekarkan ratusan ribu kuntum nafsu,
Buahkan juta’an dosa dan penyesalan,
Membunuh mati jiwa para peragu buta

Tapi,….
Sang penghianat lupa hukum keadilan-Nya,
Merasa mulia meski dibanjiri kutukan,
Sampai simalakama ranum terhidang untuknya,
Harumnya mantap menancap jiwa busuknya,
Ratapannya sehina tubuh dan otak kotornya

Air Mata Hati

air mata seringkali jadi obat yang paling ampuh
meski (tetap) takkan mampu mengobati sekujur tubuhku yang hancur
tapi setidaknya aku bisa nyaman ketika bisa meneteskannya keluar
tak terasa lagi sesak di dada
tapi rasanya aku lelah harus menangis setiap waktu
aku mulai merasa membutuhkan sesuatu yang bisa lebih ampuh mengobati semua luka ini
bosan dengan kesenduan yang memuakkan ini
aku ingin bisa tertawa seperti dulu
tertawa dengan bebas dan lepas
menikmati hidupku dengan penuh kebahagiaan
tapi mampukah aku?
bisakah aku menahan sakit ini tanpa air mata
apakah aku harus melupakanmu..?
tapi hati ini takbisa melepas bayangmu
hanya dirimu yang selalu ada dalam hidupku....!!

Rabu, 14 Desember 2011

makalah kebidanan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Perlukaan pada jalan lahir dapat terjadi pada wanita yang telah melahirkan bayi setelah masa persalinan berlangsung. Persalinan adalah proses keluarga seorang bayi dan plasenta dari rahim ibu. Jika seseorang ibu setelah melahirkan bayinya mengalami perdarahan. Maka hal ini dapat diperkirakan bahwa perdarahan tersebut disebabkan oleh retensio plasenta atau plasenta lahir tidak lengkap. Pada keadaan ini di mana plasenta lahir lengkap dan kontraksi uterus membaik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan dari jalan lahir. Perlukaan ini dapat terjadi oleh karena kesalahan sewaktu memimpin suatu persalinan, pada waktu persalinan operatif melalui vagina seperti ekstraksi cunem, ekstraksi vakum, embrotomi atau traume akibat alat-alat yang dipakai. Selain itu perlukaan pada jalan lahir dapat pula terjadi oleh karena memang disengaja seperti pada tindakan episiotomi. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya robekan perinium yang luas dan dalamnya disertai pinggir yang tidak rata, di mana penyembuhan luka akan lambat dan terganggu.
1.2 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk.
1. Memenuhi tugas belajar mengajar pada mata kuliah ASKEB IV ( Patologi Kebidanan) yang dibimbing oleh ibu Dianawati, S.SiT.
2. Guna memberikan wawasan kepada para pembaca supaya dapat memahami dan mengerti tentang perlukaan jalan lahir beserta perawatannya.
1.3 Manfaat
Dengan penyusunan makalah ini para pembaca dapat mengetahui dan memahami tentang resiko pada pasca persalinan yang dialami oleh setiap wanita, yaitu dapat mengenai perlukaan pada jalan lahir serta cara perawatannya.
1.4 Metode Penulisan
Dalam pembuatan makalah ini penulis mengambil dari sumber kepustakaan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perlukaan Pada Jalan Lahir
Perlukaan pada jalan lahir dapat terjadi pada wanita yang telah melahirkan bayi setelah masa persalinan berlangsung. Perlukaan ini dapat terjadi oleh karena kesalahan sewaktu memimpin suatu persalinan, pada waktu persalinan operatif melalui vagina seperti ekstasi cunam, ekstrasi vakum, embriotomi atau trauma akibat alat-alat yang dipakai. Adapun perlukaan pada jalan lahir dapat juga terjadi pada :
a. Dasar panggul pada jalan lahir berupa episiotomi atau robeka perinium spontan.
b. Vulva dan vagina
c. Serviks uteri
d. Uterus.
B. Episiotomi
1. Pengertian
Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput lendir, cincin selaput dara, jaringan pada septum rektovainal, otot-otot dan fasia perinium dan kulit sebelah depan perinium.
2. Indikasi
Indikasi episiotomi dapat timbul dari pihak ibu maupun pihak janin.
1. Indikasi janin
a. Sewaktu melahirkan janin prematre. Tujuannya untuk mencegah terjadinya trauma berlebihan pada kepala janin.
b. Sewaktu melahirkan janin letak sungsang, melahirkan janin dengan cunam, ekstrasi vakum, danjanin besar.
2. Indikasi Ibu
Apabila terjadi peregangan perinium yang berlebihan sehingga ditakuti akan terjadi robekan perinium, umpama pada primipara, persalinan sungsang, persalinan dengan cunam, ekskresi vakum.
3. Teknis
Teknik episiotomi terbagi atas tiga macam yaitu :
1. Teknik E. Medialis
a. Pada teknik ini insisi dimulai dari ujung terbawah introitus vagina sampai batas atas otot-otot sfingter ani. Cara anestesi yang dipakai adalah cara anestesi infiltrasi antara lain dengan larutan procaina 1% - 2%. Setelah pemberian anestesi, dilakukan insisi dengan mempergunakan gunting yang tajam dimulai dari bagian terbawah intritus vagina menuju anus, tetapi tidak sampai memotong pinggir atas sfingter ani, hingga kepala dapat dilahirkan. Bila kurang lebar disambung ke lateral, (epirotomi medio lateralis).
b. Untuk menjahit luka episiotomi medialis mula-mula otot perinium kiri dan kanan dirafatkan dengan beberapa jahitan. Terakhir kulit perinium dijahit dengan empat atau lima jahitan. Jahitan dapat dilakukan secara terputus-putus (interrupted sutun) atau secara jelujur. Benang yang dipakai untuk menjahit otot, fasia dan selaput lendir adalah catgut khronik,sedang untuk kulit perinium dipakai benang sutera.
2. Teknik Mediolateralis
a. pada teknik ini insisi dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju ke arah belakang dan samping. Arah insisi ini dapat dilakukan ke arah kanan atau kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang melakkannya. Panjang insisi kira-kira 4 cm.
b. Teknik menjahit luka pada episiotomi mediolateralis hampir sama dengan teknik menjahit episiotomi medialis. Penjahitan dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah penjahitan selesai hasilnya harus simetris.
3. Episiotomi Lateralis
a. Pada teknik ini insisi dilakukan ke arah lateral di mulai dari kira-kira pada jam 03.00 atau jam 09.00 menurut arah jam.
b. Teknik ini sekarang tidak dilakukan lagi oleh karena banyak menimbi\ulkan komplikasi. Luka insisi ini dapat melebar ke rah dimana terdapat pembuluh darah pundendal interna, sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang banyak. Selain itu parut yang terjadi dapat menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu penderita.

C. Robekan Perinium
1. Plagestian
Robekan perinium umumnya terjadi persalinan di mana :
1) Kepala janin terlalu cepat lahir.
2) Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
3) Sebelumnya perinium terdapat banyak jaringan parut
4) Pada persalinan terjadi distosia.
2. Jenis/tingkat
Robekan perinium dapat dibagi atas 3 tingkat :
1) Tingkat 1: Robekan hanya terjadi pada selaput lendir vagina dengan a/ tanpa mengenai kulit perinium sedikit.
2) Tingkat 2: Robekan yang terjadi lebih dalam yaitu selain mengenai selaput lendir, vagina juga mengenai sfingter ani.
3) Tingkat 3: Robekan yang terjadi mengenai seluruh perinium sampai mengenai otot-otot sfingter ani.
3. Teknik Menjahit Robekan Perinium
1. Tingkat I
Pengertian robekan perinium tingkat 1 dapat dilakukan hanya dengan memakai catgut yang dijahitkan secara jelujur (continuous sutere) atau dengan cara angka delapan (figune of night).
2. Tingkat II
Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perinium tingkat II maupun tingkat II, jika dijumpai pinggir robekan yang tidak rata atau bergerigi, maka pinggir yang bergerigi tersebut harus diratakan terlebih dahulu. Pinggir robekan sebelah kiri dan kanan masing-masing di klem terlebih dahulu, kemudian digunting. Setelah pinggir robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan. Mula-mula otot-otot dijahit dengan catgut. Kemudian selaput lendir vagina dijahit dengan catgut secara terputus-putus atau jelujur. Penjahitan selaput lendir vagina dimulai dari puncak robekan. Terakhir kulit perinium dijahit dengan benang sutera secara terputus-putus.
3. Tingkat III
Mula-mula dinding depan rektum yang robek dijahit. Kemudian fasia perirektal dan fasia septum rektovaginal dijahit dengan catgut kromik, sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung otot sfingter ani yang terpisah oleh karena robekan di klem dengan klem pean lurus. Kemudian dijahit dengan 2 – 3 dijahit catgut kronik sehingga bertemu kembali. Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan perinium tingkat II.
D. Perlukaan Vulva
Perlukaan vulva terdiri atas 2 jenis yaitu :
1. Robekan Vulva
Perlukaan vulva sering dijumpai pada waktu persalinan. Jika diperiksa dengan cermat, akan sering terlihat robekan. Robekan keci; pada labium minus, vestibulum atau bagianbelakang vulva. Jika robekan atau lecet hanya kecil dan tidak menimbulkan perdarahan banyak, tidak perlu dilakkan tindakan apa-apa. Tetapi jika luka robekan terjadi pada pembuluh darah, lebih-lebih jika robekan terjadi pada pembuluh darah di daerah klitoris, perlu dilakukan penghentian perdarahan dan penjahitan luka robekan. Pada gambar di bawah terlihat lokasi robekan yang paling sering ditemui pada vulva.
Pada gambar di atas tampak perlukaan vulva sering dijumpai pada waktu persalinan. Jika diperiksa dengan cermat, akan sering terlihat robekan-robekan kecil pada labium minus, vestibulum atau bagian belakang vulva.
Luka-luka robekan diahit dengan catgut secara terputus-putus ataupun secara jelujur. Jika luka robekan terdapat disekitar orifisium uretra atau diduga mengenai vesika urinaria, sebaiknya sebelum dilakukan penjahitan, dipasang dulu kateter tetap.













Perbedaan pada gambar A) robekan pada vulva B) vulva setelah dijahit
Berikut adalah gambar- gambar teknik penjahitan robekan pada vulva :




















Gambar 18 – 7. teknik menjahit perlukaan parauretral



2. Hematoma Vulva
Terjadinya robekan vulva disebabkan oleh karena robeknya, pembuluh darah terutama vena yang terikat di bawah kulit alat kelamin luar dan selaput lendir vagna.
Hal ini dapat terjadi pada kala pengeluaran, atau setelah penjahitan luka robekan yang senbrono atau pecahnya vasises yang terdapat di dinding vagina dan vuluz. Sering terjadi bahwa penjahitan luka episiotomi yang tidak sempurna atau robekan pada dinding vagina yang tidak dikenali merupakan sebab terjadinya hematome. Tersebut apakah ada sumber perdarahan. Jika ada, dilakukan penghentian perdarahan. Perdarahan tersebut dengan mengikat pembuluh darah vena atau arteri yang terputus. Kemudian rongga tersebut diisi dengan kasa streil sampai padat dengan meninggalkan ujung kasa tersebut di luar. Kemudian luka sayatan dijahit dengan jahitan terputus-putus atau jahitan jelujur. Dalam beberapa hal setelah summber perdarahan ditutup, dapat pula dipakai drain.














3. Tampon dapat dibiarkan selama 24 jam. Kemudian penderita diberi koagulansia, antibiootika sebagai tindakan profilaksisi terdapat infiksi dan roboransia.













E. Robekan Dinding Vagina.
Perlukaan vagina sering terjadi sewaktu :
a. Melahirkan janin dengan cnam.
b. Ekstraksi bokong
c. Ekstraksi vakum
d. Reposisi presintasi kepala janin, umpanya pada letak oksipto posterior.
e. Sebagai akibat lepasnya tulang simfisis pubis (simfisiolisis) bentuk robekan vagina bisa memanjang atau melintang.
Komplikasi
1. Perdarahan pada umumnya pada luka robek yang kecil dan superfisial terjadi perdarahan yang banyak, akan tetapi jika robekan lebar dan dalam, lebih-lebih jika mengenai pembuluh darah dapat menimbulkan perdarahan yang hebat.
2. Infeksi jika robekan tidak ditangani dengan semestinya dapat terjadi infiksi bahkan dapat timbul septikami.
Penanganan
Pada luka robek yang kecil dan superfisal, tidak diperlukan penangan khusu pada luka robek yang lebar dan dalam, perlu dilakukan penjahitan secara terputus-putus atau jelujur.
Bisanya robekan pada vagina sering diiringi dengan robekan pada vulva maupun perinium. Jika robekan mengenai puncak vagina, robekan ini dapat melebar ke arah rongga panggul, sehingga kauum dougias menjadi terbuka. Keadaan ini disebut kolporelasis.
F. Kolporeksis
Kolporeksis adalah suatu keadaan dimana menjadi robekan pada vagina bagian atas, sehingga sebagian serviks uteri dan sebagian uterus terlepas dari vagina. Robekan ini dapat memanjang dan melintang.
Etiologi
1. Pada partus dengan disproporsi sefalopelvik. Apabila segmen bahwa rahim tidak terfiksis antara kepala janin dan tulang panggul, maka tarikan regangan ini. Sudah melewati kekuatan jaringan, akan terjadi robekan pada vagina bagian atas.
2. Trauma sewwaktu mengeluarkan plasenta secara manual. Dalam hal ini tangan dalam tidak masuk ke kavum uteri, tetapi menembus forniks posterios, sehingga kavum douglas menjadi tembus/terbuka.
3. Pada waktu melakukan koitus yang disertai dengan kekerasan.
Gejala
Gejala-gejala dari kolporeksis inilebih kurang sama dengan gejala ruptura uteri sehingga tindakan pertolongannya tidak berada dengan tindakan pertolongan ada ruptura uteri.
G. Fistula Vesikavaginal
Etiologi
Fistule ini dapat terjadi karena :
1) Trauma umpamnay sewaktu menggunakan alat-alat
(Perforaktoe,kait dekapitasi, cunam).
2) Persalinan lama (obstructed labor). Dalam hal ini dinding vagina dan dasar vesika urinaria terletak ke dalam waktu yang lama antara kepala dan tulang panggul, sehingga menyebabkan terjadinya nekrosis jaringa. Beberapahari setelah melahirkan, jaringan nekrosis ini terlepas, sehingga terjadi fistula antara nisika urinaria dengan vagina.
Penanganan
1. Fistula vesikovaginal yang disebabkan oleh trauma pada keadaan ini segera stelah terjadi fistula, kelihatan air kencing mnetes kedalam vagina. Jika hal ini ditemukan, harus segera dilakukan penjahitan luka yang terjadi. Sebelum penjahitan, terlebih dahulu dipasang katetes tetap dalam vistika urinaria, kemudian baru luka dijahit lapis demi lapis sesuai dengan bentuk anatomi visika urineria, yaitu mula-mula dijahit selaput lendir, kemudian otot-otot dinding vesika urineria lalu dinding depan vagina. Jahitan dapat dilakukan secara terputus-putus atau jahitan angka delapan (figure of eight suture). Kateter tetap dibiarkan di tempat selama beberapa waktu.
2. Fistule vesikovaginal yang disebabkan oleh karena lepasnya jaringan rekrosis. Dalam hal ini gejala besar kencing tidak segera dapat dilihat. Gejala-gejala baru kelihatan setelah 3 – 10 hari pasca persalinan. Kadang-kadang pada fistula yang kecil, dengan menggunakan kateter tetap (untuk drainase fisika urineria) selama bebeapa minggu, fistula yang kecil tersebut dapat menutup sendiri. Pada fistula yang agak besar, penutupan fistula baru dapat dilakukan setelah 3 – 6 bulan pasca persalinan.
H. Robekan Serviks
Etiologi
Robekan serviks dapat terjadi pada :
1) Partus presipatatus
2) Trauma karena pemakaian alat-alat operasi (cunam perforatr, vakum ekstraktor)
3) Melahirkan kepala janin pada letak sungsang paksa padahal pemukan serviks uteri dalam lengkap.
4) Partus lama, di mana telah terjadi serviks edem, sehingga jaringan serviks adalah menjadi rapuh dan mudah robek.
Robekan serviks dapat terjadi pada satu tempat atau lebh. Setiap selesai melakukan peralinan operatif pervaginam, letak sungsang, partus presipitatus, plasenta manual, harus dilakukan pemeriksaan keadaan jalan lahir dengan spekulam vagina.
Kompliksai
Komplikasi yang segera terjadi adalah perdarahan.kadang-kadang perdarahan ini sangat banyak sehingga dapat menimbulkan syok bahkan kematian. Pada keadaan ini di mana serviks ini tidak ditangani dengan baik, dalam jangka panjang dapat terjadi inkompetensi serviks (cervisal moompetence) ataupun infestilitas sekunder.
Teknik menjhit robekan serviks
1. Pertama-tama robekan sebelah kiri dan kanan dijepit engan klem, sehingga perdarahan menjadi berkurang a/ berhenti.
2. Kemudian serviks ditarik edikit, sehingga lebih jelas kelihatan dari luar.
3. Jika pinggir robekan dengan catgut khromik nomor ooo. Jahitan dimulai dari ujung robekan dengan cara jahitan terputus-putus atau jahitan angka delapan (figure of eight suture).
4. Jika pinggir robekan bergerigi, sebaiknya sebelum dijahit, pinggir tersebut diratakan dengan jalan menggunting pinggir yang bergerigi tersebut.
5. Pada robekan yang dalam, jahitan harus dilakukan lapis dalam lapis. Ini dilakukan untuk menghindarkan terjadinya hematomi dalam rongga di bawah jahitan.
I. Rupture Uteri
Angka Kematian
Ruptura uteri merupakan suatu komplikasi yang sangat berbahaya dalam persalinan. Angka kejadian ruptura uteri di Indonesia masih tinggi yaitu berkisar antara 1 : 92 sampai 1 : 428 persalinan. Begitu juga angka kematian ibu akibat rupturea uteri masih anak tinggi yaitu berkisar antara 17,9 sampai 62,6 %. Angka kematian anak pada ruptura uteri antara 89,1 % sampai 100 %.
Faktor Prodisposisi
1. Multifaritas / grandimultipara.
Ini disebabkan oleh karena, dinding perut yang lembek dengan kedudukan uters dalam posisi antefleksi, sehingga dapat menimbulkan disproporsi sifalopelvik, terjadinya infeksi jaringan fibrotik dalam otot rahim penderia, sehingga mudah terjadi ruptura uteri spontan.
2. Pemakaian desitosin untuk indikasi atau stimulasi persalinan yang tidak tepat.
3. Kelainan letak dan implantasi plasenta umpamanya pada plasenta akreta. Plasenta inkreta atau plasenta perkreta.
4. Kelainan bentuk uterus umpamanya uterus bikkornis.
5. Hidramnion.
Jenis
1. Ruptura uteri spontan. Ruptura uteri spontan dapat terjadi pada keadaan di mana terdapat rintangan pada waktu persalinan, yaitu pada kelainan letak dan presentasi janin, disproporsi sefalopelvik, vanggul sempit, kelainan panggul, tumor jalan lahir.
2. Ruptura uteri traumatik dalam hal ini reptura uteri terjadi oleh karena adanya lucus minoris pada dinding uteus sebagai akibat bekas operasi sebelumnya pada uterus, seperti parut bekas seksio sesarea, enukkasi mioma/meomektomi, histerotomi, histerorafi, dan lain-lain. Reptura uteri pada jaringan parut ini dapat dijumpai dalam bentuk tersembunyi (occult) yang dimaksud dengan bentuk nyata/jelas adalah apabila jaringan perut terbuka seluruhnya dan disertai pula dengan robeknya ketuban, sedang pada bentuk tersembunyi, hanya jaringan perut yang terbuka, sedang selaput ketuban tetap utuh.
Pembagian jenis menurut anatomik
Secara anatomik reptura uteri dibagi atas :
1. Reptura uteri komplit. Dalam hal ini selain dinding uterus robek, lapisan serosa (pertoneum) juga robek sehingga janin dapat berada dalam rongga perut.
2. Reptura uteri inkomplit dalam hal ini hanya dinding uterus yang robek, sedangkan lapisan serosa tetap utuh.
Gejala
1. Biasanya ruptura uteri didahului oelh gejala-gejala rupture untuk membakar, yaitu his yang kuat dan terus menerus, rasa nyeri yang hebat di perut bagian bawah, nyeri waktu ditekan, gelisah atau seperti ketakutan, nadi dan pernafasan cepar, cincin van bandi meninggi.
2. Setelah terjadi ruptura uteri dijumpai gejala-gejala syok, perdarahan (bisa keluar melalui vagina atau pun ke dalam rongga perut), pucat, nadi cepat dan halus, pernafasan cepat dan dangkal, tekanan darah turun. Pada palpasi sering bagian-bagian janin dapat diraba langsung dbawah dinding perut, ada nyeri tekan,dan di perut bagian bawah teraba uterus kira-kira sebesar kepala bayi. Umamnya janin sudah meninggal.
3. Jika kejadian ruptura uteri lebih lama terjadi, akan timbul gejala-gejala metwarisme dan defenci musculare sehingga sulit untuk dapat meraba bagian janin.
Prognosis
Ruptura uteri merupakan malapetaka untuk ibu maupun janin oleh karena itu tindakan pencegahan sangat penting dilakukan setiap ibu bersalin yang disangka akan mengalami distosia, karena kelainan letak janin, atau pernah mengalami tindakan operatif pada uterus seperti seksio sesarea, memektomi dan lain-lain, harus diawali dengan cermat. Hal ini perlu dilakukan agar tindakan dapat segera dilakukan jika timbul gejala-gejala ruptura uteri membakar, sehingga ruptura uteri dicegah terjadinya pada waktu yang tepat.
Penanganan
1. Pertolongan yang tepat untuk ruptura uteri adalah laporotomi sebelumnya penderita diberi trasfusi darah atau sekurang-kurangnya infus cairan garam fisiologik/ringer laktat untuk mencegah terjadinnya syok hipovolemik.
2. Umumyna histerektomi dilakukan setelah janin yang berada dalam rongga perut dikeluarkan. Penjahitan luka robekan hanya dilakukan pada kasus-kasus khusus, dimana pinggir robekan masih segar dan rata, serta tidak terlihat adanya tanda-tanda infeksi dan tidak terdapat jaringan yang rapuh dan nekrosis. Histerorofi pada ibu-ibu yang sudah mempunyai cukup anak dianjurkan untuk dilakkan pula tubektomi pada kedua tuba (primary), sedang bagi ibu-ibu yang belum mempunyai anak atau belum merasa lengkap keluarganya dianjurkan untuk orang pada persalinan berikutnya untuk dilakukan seksio sesaria primer.

episiotomi perinium

Episiotomi

Episiotomi adalah insisi dari perinium untuk memudahkan persalinan dan mencegah ruptur perinii totalis (Bagian Obsgyn, UNPAD).
Sedangkan menurut Harry Oxorn (1996), Episiotomi adalah insisi perinium untuk memperlebar ruang pada lubang keluar jalan lahir sehingga memudahkan kelahiran bayi.
Jenis – jenis episiotomi

  1. Episiotomi Medialis adalah yang dibuat di garis tengah.
  2. Episiotomi Mediolateralis dari garis tengah ke samping menjauhi anus.
  3. Episiotomi Lateralis 1-2 cm diatas commisuro posterior ke samping.
  4. Episiotomi Sekunder adalah ruptur perinii yang spontan atau episiotomi medialis yang melebar sehingga dimungkinkan menjadi ruptura perinii totalis maka digunting ke samping.


Fungsi Episiotomi

  1. Episiotomi membuat luka yang lurus dengan pinggir yang tajam, sedangkan ruptura perinii yang spontan bersifat luka koyak dengan dinding luka bergerigi.
  2. Luka lurus dan tajam lebih mudah dijahit.
  3. Mengurangi tekanan kepala bayi.
  4. Mempersingkat kala II.
  5. Mengurangi kemungkinan terjadinya ruptura perinium totalis.

Keuntungan dan kerugian dari episiotomi

  1. Episiotomi Medialis : mudah dijahit, anatomi maupun fungsionil sembuh dengan baik, nyeri masa nifas ringan, dapat menjadi ruptur perinii totalis.
  2. Episiotomi Mediolateralis : Lebih sulit dalam penjahitan,anatomi maupun fungsionil penyembuhan kurang sempurna, nyeri pada hari-hari pertama nifas, jarang menjadi ruptura perinii.

    http://perawatpskiatri.blogspot.com/2009/03/episiotomi.html

Perinium, Luka Perinium, Episiotomi

Perinium merupakan kumpulan berbagai jaringan yang membentuk perinium (Cunningham,1995). Terletak antara vulva dan anus, panjangnya kira-kira 4 cm (Prawirohardjo, 1999). Jaringan yang terutama menopang perinium adalah diafragma pelvis dan urogenital. Diafragma pelvis terdiri dari muskulus levator ani dan muskulus koksigis di bagian posterior serta selubung fasia dari otot-otot ini. Muskulus levator ani membentuk sabuk otot yang lebar bermula dari permukaan posterior ramus phubis superior, dari permukaan dalam spina ishiaka dan dari fasia obturatorius.
Serabut otot berinsersi pada tempat-tempat berikut ini: di sekitar vagina dan rektum, membentuk sfingter yang efisien untuk keduanya, pada persatuan garis tengah antara vagina dan rektum, pada persatuan garis tengah di bawah rektum dan pada tulang ekor. Diafragma urogenitalis terletak di sebelah luar diafragma pelvis, yaitu di daerah segitiga antara tuberositas iskial dan simpisis phubis. Diafragma urogenital terdiri dari muskulus perinialis transversalis profunda, muskulus konstriktor uretra dan selubung fasia interna dan eksterna (Cunningham, 1995).
Persatuan antara mediana levatorani yang terletak antara anus dan vagina diperkuat oleh tendon sentralis perinium, tempat bersatu bulbokavernosus, muskulus perinialis transversalis superfisial dan sfingter ani eksterna. Jaringan ini yang membentuk korpus perinialis dan merupakan pendukung utama perinium, sering robek selama persalinan, kecuali dilakukan episiotomi yang memadai pada saat yang tepat. Infeksi setempat pada luka episiotomi merupakan infeksi masa puerperium yang paling sering ditemukan pada genetalia eksterna.

Luka Perinium
Luka perinium adalah perlukaan yang terjadi akibat persalinan pada bagian perinium dimana muka janin menghadap (Prawirohardjo S,1999).
Sedangkan menurut Harry Oxorn, (1996) luka perinium merupakan robekan perinium yang terjadi pada saat persalinan.
Tingkat perlukaan pada perinium dibagi dalam tiga tingkatan:
  1. Tingkat I apabila perlukaan yang terjadi pada mukosa vagina atau kulit perinium pada tingkat I yang tidak memerlukan penjahitan.
  2. Tingkat II merupakan perlukaan yang lebih dalam dan luas ke vagina dan perinium dengan melukai fasio serta otot-otot diafragma urogenital. Pada tingkat II hendaknya dijahit kembali secara cermat. Lapisan otot dijahit simpul dengan catgut kromik nomor 0 atau 00 untuk mencegah timbulnya darah beku dan terjadinya radang.
  3. Tingkat III apabila perlukaan yang lebih luas dan lebih dalam yang menyebabkan muskulus sfingter ani eksternus terputus di depan. Pada tingkat III ini memerlukan tehnik penjahitan khusus. Langkah pertama yang terpenting adalah menemukan kedua ujung muskullus sfingter ani eksternus yang terputus. Kedua ujung otot dijepit camam alis, kemudian dijahit dengan benang cat gut kromik nomor 0 atau 00, sehingga kontinuitas sfingter terbentuk kembali. Simpul jahitan pada ujung-ujung otot sfingter hendaknya dibenamkan kearah mukosa rektum. Selanjutnya penjahitan jaringan dilakukan seperti pada penjahitan luka perinium tingkat II. Ketegangan sfingter dinilai dengan memasukkan jari ke dalam rektum.

    http://perawatpskiatri.blogspot.com/2009/03/perinium-luka-perinium-episiotomi.html

Senin, 12 Desember 2011

makalah farmakologi anestesi umum dan anestesi lokal

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

1. obat anestasi umum

Usaha menekan rasa nyeri pada tindakan operasi dengan menggunakan obat Telah dilakukan sejak zaman dahulu termasuk pemberian alcohol dan opodium secara oral. Tahun 1846, wiiliam morton, di bostom, pertama kali menggunakan obat anestesi dietil eter untuk menghilangkan nyeri operasi. Pada tahun yang sama, james simpsom, diskotlandia, menggunakan kloroform yang 20 tahun kemudian diikuti dengan penggunaan nitrogen oksida, yang diperkenalkan oleh Davy pada era tahun 1790 an. Anestetik modern mulai dikenal pada era tahun 1930 an. Dengan pemberian barbiturate thiopental secara intra vena. Beberapa puluh tahun yang lalu, kurare pun pernah diperkenalkan sebagai anestesi umum untuk merelaksasi otot skelet selama operasi berlangsung. Tahun 1956, hidrokarbon halogen yang dikenal dengan nama halotan mulai dikenal sebagai obat anestetik secara inhalasi dan menjadikannya sebagai standar pembanding untuk obat-obat anestesi lainnya yang berkembang sesudah itu.
Stadium anestesi umum meliputi “analgesia, amnesia, hilangnya kesadaran”, terhambatnya sensorik dan reflex otonom, dan relaksasi otot rangka. Untuk menimbulkan efek ini, setiap obat anestesi mempunyai variasi tersendiri bergantung pada jenis obat, dosis yang diberikan, dan keadaan secara klinis. Anestetik yang ideal akan bekerja secara tepat dan baik serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu, batas keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat minimal. Tidak satu pun obat anestetik dapat memberikan efek yang diinginkan tampa disertai efek samping, bila diberikan secara tunggal. Oleh karena itu, pada anestetik modern selalu digunakan anestetik dalam bentuk kombinasi untuk mengurangi efek samping yang tidak diharapkan.


2. Anestesi lokal
Anestesi lokal menghambat impuls konduksi secara revesibel sepanjang akson saraf dan membran eksitabel lainnya yang menggunakan saluran natrium sebagai alat utama pembangkit potensi aksi. Secara klinik, kerja ini dimamfaatkan untuk menghambat sensasi sakit dari-atau impuls vasokontstriktor simpatis ke-bagian tubuh tertentu. Kokain, obat anestesi pertama, yang diisolasi oleh niemann pada tahun 1860.
Kokain dikenal dana pengunaan klinik oleh koller, pada tahun 1884, sebagai suatu anestesi oftalmik. Obat ini kemudian segera diketahui mempunyai kerja adiksi SSP yang kuat, tetapi seblumnya hanya digunakan sebagai anestesi lokal secara luas selama 30 tahun. Dalam usaha memperbaiki sifat kokain, pada tahun 1905 einorn telah mensintesis prokain, yang kemudian menjadi anestesi lokal dominan selama 50 tahun kemudian.
Sejak 1905, sudah banyak bat anestesi lokal disentesis. Tujuan usaha ini adalah untuk mengurangi iritasi lokal dan kerusakan jaringan, mempekecil tosisitas sistemik, mula kerja yang cepat, dan kerja yang lama. Likokain akhirnya merupakan obat yang paling populer, disentesis pada tahun 1943 oleh lofgren dan dinyatakan sebagai prototipe obat anestesi lokal.
Belum tersedia saat ini obat anestesi lokal yang ideal, dan pengembangan obat baru masih terus diteliti. Namun, walaupun relatif mudah untuk mensintesis suatu zat kimia yang mempunyai efek anestesi lokal, tetapi sangat sulit meguragi efek toksik yang lebih kecil dari obat yang ada saat ini. Alasan utama kesulitan tersebut adalah kenyataan bahwa toksisitas yang sangat serius dari obat anestesi lokal merupakan perluasan efek terapinya pada otak dan sistem sirkulasi.


B. Tujuan

 Supaya mahasiswa memahami tentang anestesi umum dan anestesi local
 Supaya mahasiswa dapat membedakan penggunaan anestesi umum dan anestesi lokal
 Agar kita semua memahami perbedaan anestesi umum dan anestesi local
 Agar semua mahasiswa dapat mengetahui jenis obat-obat anestesi umum dan lokal






BAB II
ANESTESI UMUM

A. Jenis obat anestesi umum
.
Umumnya obat anestesi umum diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena.
1. Anestetik inhalasi
Nitrogen aksida yan stabil pada tekanan dan suhu kamar merupakan salah satu anestetik gas yang banyak dipakai karena dapat digunakan dalam bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya. Halotan, enfluran, isofluran, desfluran dan metoksifluran merupakan zat cair yang mudah menguap. Sevofluran merupakan anestesi in halasi terbaru tetapih belum diizinkan beredar di USA. Anestesi inhalasi konvensional seperti eter, siklopropan, dan kloroform pemakaiannya sudah dibatasi karena eter dan siklopropan mudah terbakar sedangkan kloroform toksik terhadap hati.

2. Anestetik intravena
Beberapa obat anestetik diberikan secara intravena baik tersendiri maupun dalam bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya untuk mempercepat tercapainya stadium anestesi atau pun sebagai obat penenang pada penderita gawat darurat yang mendapat pernafasan untuk waktu yang lama, Yang termasuk :

 Barbiturat (tiopental, metoheksital)
 Benzodiazepine (midazolam, diazepam)
 Opioid analgesik dan neuroleptik
 Obat-obat lain (profopol, etomidat)
 Ketamin, arilsikloheksilamin yang sering disebut disosiatif anestetik.


B. Tanda dan stadium anestesi

Sejak obat anestesi umum di perkenalkan, telah diusahakan mengkorelasikan efek dan tandanya untuk mengetahui dalamnya anestesi. Gambaran tradisional tanda dan stadium anestesi (tanda guedel) berasal terutama dari penilitian efek diatil eter, yang mempunyai mula kerja sentral yang lambat karena kelarutannya yang tinggi didalam darah. Stadium dan tanda ini mungkin tidak mudah terlihat pada pemakaian anestetik modern dan anestetik intravena yang bekerja cepat. Karenanya, pemakaian anestetik dipergunakan dalam bentuk kombinasi antara anestetik inhalasi dengan anestetik intravena. Namun tanda-tanda anesthesia dietil eter masih memberikan dasar untuk menilai efek anestetik untuk semua anestetik umum. Banyak tanda-tanda anestetik ini menunjukkan pada efek obat anestetik pernafasan, aktivitas refleks, dan tonus otot.


Secara tradisional, efek anestetik dapat dibagi 4 stadium peningkatan dalamnya depresi susunan saraf pusat, yaitu :

I. Stadium analgesi
Pada stadium awal ini, penderita mengalami analgesi tampa disertai kehilangan kesadaran. Pada akhir stadium 1, baru didapatkan amnesia dan analgesi

II. Stadium terangsang
Pada stadium ini, penderita tampak delirium dan gelisah, tetapih kehilangan kesadaran. Volume dan kecepatan pernafasan tidak teratur, dapat terjadi mual. Inkontinensia urin dan defekasi sering terjadi. Karena itu, harus diusahakan untuk membatasi lama dan berat stadium ini, yang ditandai dengan kembalinya pernafasan secara teratur.

III. Stadium operasi
Stadium ini ditandai dengan pernafasan yang teratur. Dan berlanjut sampai berhentinya pernafasan secara total. Ada empat tujuan pada stadium III digambarkan dengan perubahan pergerakkan mata, dan ukuran pupil, yang dalam keadaan tertentu dapat merupakan tanda peningktan dalamnya anestesi.

IV. Stadium depresi medula oblongata
Bila pernafasan spontan berhenti, maka akan masuk kedalam stadium IV. Pada stadium ini akan terjadi depresi berat pusat pernafasan dimedula oblongata dan pusat vasomotor. Tampa bantuan respirator dan sirkulasi, penderita akan cepat meninggal.


Pada praktek anestesi modern, perbedaan tanda pada masing-masing stadium sering tidak jelas. Hal ini karena mula kerja obat anestetik modern relatife lebih cepat dibandingkan dengan dietil eter disamping peratan penunjang yang dapat mengontrol ventilasi paru secara mekanis cukup tersedia. Selain itu, adanya obat yang diberikan sebelum dan selama operasi dapat juga berpengaruh pada tanda-tanda anestesi. Atropin, digunakan untuk mengurangi skresi, sekaligus mendilatasi pupil; obat-obatnya seperti tubokurarin suksinilkolin yang dapat mempengaruhi tonus otot; serta obat analgetik narkotik yang dapat menyebabkan efek depresan pada pernafasan.tanda yang paling dapat diandalkan untuk mencapai stadium operasi adalah hilangnya refleks kelopak mata dan adanya pernapasan yang dalam dan teratur.


C. Anastetik inhalasi

1. Farmakokinetik
Dalamnya anestesi ditentukan oleh konsentrasi anestetik didalam susunan saraf pusat. Kecepatan pada konsentrasi otak yang efektif (kecepatan induksi anestesi) bergantung pada banyaknya farmakokinetika yang mempengaruhi ambilan dan penyebaran anestetik. Factor tersebut menentukan perbedaan kecepatan transfer anestetik inhalasi dari paru kedalam darah serta dari darah ke otak dan jaringan lainnya. Faktor-faktor tersebut juga turut mempengaruhi masa pemulihan anestesi setelah anestetik dihentikan.

Ambilan & distribusi
Konsentrasi masing-masing dalam suatu campuran gas anestetik sebanding dengan tekanan atau tegangan persialnya. Istilah tersebut sering dipergunakan secara bergantian dalam membicarakan berbnagai proses transfer anestetik gas dalam tubuh. Tercapainya konsentrasi obat anestetik yang adekuat dalam otak untuk menimbulkan anestesi memerlukan transfer obat anestetik dari udara alveolar kedalam darah dan otak. Kecepatan pencapaian konsentrasi ini bergantung pada sifat kelarutan anestetik, konsentrasinya dalam udara yang dihisap, laju ventilasi paru, aliran darah paru, dan perbedaan gradian konsentrasi (tekanan parsial) obat anestesi antara darah arteri dan campuran darah vena.

a) Kelarutannya
Salah satu penting factor penting yang mempengaruhi transfer anestetik dari paru kedarah arteri adalah kelarytannya. Koefisien pembagian darah; gas merupakan indeks kelarutan yang bermakna dan merupakan tanda-tanda afinitas relative suatu obat anestetik terhadap darah dibandingkan dengan udara.

b) Konsentrasi anastetik didalam udara inspirasi
Konsentrasi anestetik inhalasi didalam campuran gas inspirasi mempunyai efek langsung terhadap tegangan maksimun yang dapat tercapai didalam alveolus maupun kecepatan peningkatan tegangan ini didalam darah arterinya.

c) Ventilasi paru
Kecepatan peningkatan tegangan gas anestesi didalam darah arteri bergantung pada kecepatan dan dalamnya ventilasi per menit. Besarnya efek ini bervariasi sesuai dengan pembagian koefisien darah; gas.

d) Aliran darah paru
Perubahan kecepatan aliran darah dari dan menuju paru akan mempengaruhi transfer obat anestetik. Peningkatan aliran darah paru akan memperlambat kecepatan peningkatan tekanan darah arteri, terutama oleh obat anestetik dengan kelarutan drah yang sedang sampai tinggi.

e) Gradient konsentrasi arteri-vena
Gradien konsentrasi obat anestetik antara darah arteri dan vena campuran terutama bergantung pada kecepatan dan luas ambilan obat anestesi pada jaringan itu, yang bergantung pada kecepatan dan luas ambilan jaringan.


Pembuangan
Waktu pemulihan anestesi inhalasi bergantung pada kecepatan pembuangan obat anestetik dari otak setelah konsentrasi obat anestesi yang diisap menurun. Banyaknya proses transfer obat anestetik selama waktu pemulihan sama dengan yang terjadi selama induksi. Factor-factor yang mengontrol kecepatan pemulihan anestesi meliputi; aliran darah paru, besarnya ventilasi, serta kelarutan obat anestesi dalam jaringan dan darah serta dalamnya fase gas didalam paru.


2. Farmakodinamik

 Mekanisme kerja
Kerja neurofisiologik yang penting pada obat anestesi umum adalah dengan meningkatkan ambang rangsang sel, Aloia, 1991. Dengan meningkatnya ambang rangsang, akan terjadi penurunan aktivitas neuronal. Obat anestetik inhalasi seperti juga intravena barbiturate dan benzodiazepine menekan aktivitas neuron otak sehingga akson dan transmisisinaptik tidak bekerja. Kerja tersebut digunakan pada transmisi aksonal dan sinaptik, tetapi proses sinaptik lebih sensitive dibandingkan efeknya. Mekanisme ionik yang diperkirakan terlibat adalah bervariasi. Anestetik inhalasi gas telah dilaporkan menyebabkan hiperpolarisasi saraf dengan aktivitas aliran K+, sehingga terjadi penurunan aksi potensial awal, yaitu peningkatan ambang rangsang. Penilitian elektrofisiologi sel dengan menggunakan analisa patch clamp, menunjukkan bahwa pemakaian isofluran menurunkan aktivitas reseptor nikotinik untuk mengaktifkan saluran kation yang semuanya ini dapat menurunkan kerja transmisi sinaptik pada sinaps, kolinergik. Efek benzodiazepine dan barbiturate terhadap saluran klorida yang diperantai reseptor GABAA akan menyebabkan pembukaan dan menyebabkan hiperpolarasi, tehadap penurunan sensitivitas. Kerja yang serupa untuk memudahkan efek penghambatan GABA juga telah dilaporkan pemakaian propofol dan anestetik inhalasi lain.
Mekanisme molecular dengan anestetik gas merubah aliran ion pada membran neuronal belumlah jelas. Efek ini dapat menghasilkan hubungan interaksi langsung antara molekul anestetik dan tempat hidrofobik pada saluran membrane protein yang spesifik. Mekanisme ini telah diperkenalkan pada penilitian interaksi gas dengan saluran kolineroseptor nikotinik interkais yang tampaknya untuk menstabilkan saluran pada keadaan tertutup. Interpretasi alternatif, yang dicoba untuk diambil dalam catatan perbedaan struktur yang nyata diantara anestetik, memberikan interaksi yang kurang spesifik pada obat ini dengan dengan membran matriks lipid, dengan prubahan sekunder pada fungsi saluran.

 Karakteristik dosis-Respons:
Konsentrasi alveolar minuman obat anestesi (KAM)

Obat anestetik inhalasi masuk ke dalam paru dalam bentuk campuran gas dengan konsentrasi dan kecepatan pengaliran yang mudah diukur dan dikontrol. Akan tetapi, pencapaian keadaan anestesi secara klinik sukar diukur. Pertama: hasil stadium anestesi bergantung pada konsentrasi obat anestetik didalam otak dimana konsentrasi ini sukar diukur pada kondisi klinik penderita. Kedua: tidak semua kurva dosis respons minimal dan maksimal menentukan, walaupun pada dosis yang sangat rendah rasa nyeri masih terasa. Pemberian dosis tinggi mempunyai resiko yang besar karna adanya depresi pernafasan dan kardiovaskular. Akhirnya, penggunaan optimal dosis anestetik dapat tercapai dengan menggunakan prinsip respons dosis quantal.
Selama anestesi umum, tekanan parsial aanestetik inhalasi pada otak sama dengan tekanan didalam paru saat dosis anestetik telah tercapai. Pada pemberian kadar anestesi, pengukuran konsentrasi alveolar keadaan tetap anestesi yang berbeda memberikan perbandingan potensi relatifnya.
Dosis gas anestetik yang diberikan dapat dinyatakan dalam perkalian KAM. Sementara dosis 1 KAM suatu anestetik mencegah gerakan sebagai respons terhadap in sisi bedah pada 50% penderita. Masing-masing penderita mungkin memerlukan antara 0,5-1,5 KAM. (KAM tidak memberikan informasi mengenai kemiringan kurva dosis respons). Pada umumnya, kurva hubungan dosis respons untuk anestetik inhalasi curam, jadi lebih dari 95% penderita mungkin gagal berespons terhadap rangsangan yang merugikan pada 1,1 KAM. Pengukuran nilai KAM pada kondisi terkontrol memungkinkan efek kuantitatif berbagai variable yang diperlukan dalam anestesi. Sebagai contoh, nilai KAM akan menurun pada penderita labsia tetapih tidak banyak dipengaruhi oleh jenis kelamin, tinggi badan, dan berat badan. Yang sangat penting adalah adanya obat tambahan, yang dapat mengubah banyaknya kebutuhan obat anestetik. Sebagai contohnya, adanya obat analgesic narkotik atau sedative hipnotik maka KAM-nya akan menurun yang berarti konsentrasi obat anestetik yang diisap juga harus diturunkan dalam jumlah yang sebanding.


 Efek anestetik inhalasi terhadap system organ

a) Efek terhadap kardiovaskuler
Halotan, desfluran, enfluran dan isofluran menurunkan tekanan arteri rata-rata yang berbanding langsung dengan konsentrasi alveolarnya. Dengan halotan dan enfluran, penurunan tekanan arteri nampaknya disebabkan karena penurunan curah jantung, karena sedikitnya perubahan dalam tahanan vascular sistemik (misalnya, peningkatan aliran darah serebral). Sebaliknya, isofluran dan desfluran mempunyai efek depresi terhadap tekanan arteri sebagai akibat penurunan tahanan vascular sistemik; mereka mempunyai efek yang kecil terhadap curah jantung.

b) Efek terhadap system pernafasan
Dengan pengecualian terhadap nitrogen oksida, semua anestetik inhalasi akan menurunkan volume tidal dan meningkatkan frekuensi pernafasan. Akan tetapi, peningkatan frekuensi pernafasan tidak cukup untuk mengkompensasi penurunan volume, yang menghasilkan penurunan pernafasan per menit. Semua obat anestesi inhalasi akan menekan pernafasan, seperti yang dapat diukur dengan berbagai variasi kadar CO2.

c) Efek terhadap obat
Obat anestetik inhalasi menurunkan laju metabolic otak. Namun, kebanyakan meningkatkan aliran darah serebrum karena penurunan tahanan vascular serebri. Peningkatan aliran darah serebrum sering tidak diharapkan dalam klinik. Sebagai contoh, pada penderita dengan tekanan intracranial yang meninggi karena tumor otak atau trauma kapitis, pemberian obat anestetik inhalasi akan meningkatkan aliran darah ke otak, yang kemudian akan meningkatkan volume darah otak dan lebih jauh akan menambah tekanan intracranial.
Halotan,enfluran, dan isofluran mempunyai efek yang sama pada pemeriksaan EEG. Sampai dosis 1-15 MAC.

d) Efek terhadap ginjal
Dalam berbagai derajat, semua obat anestesi inhalasi akan menurunkan filtrasi glomerulus dan aliran plasma ginjal serta meningkatkan fraksi filtrasi. Semua obat anestetik cenderung meningkatkan tahanan vascular ginjal. Penurunan aliran darah ginjal selama anestesi umum akan mengganggu autoregulasi aliran darah ginjal.

e) Efek terhadap hati
Semua obat anestetik inhalasi akan menurunkan aliran darah ke hati dan umumnya berkisar antara 15 sampai 45% dari aliran darah sebelum anestesi dilakukan.

f) Efek terhadap otot polos uterus
Nitrogen oksida mempunyai efek yang kecil terhadap otot polos uterus. Akan tetapi, isofluran, halotan dan enfluran merupakan relaksan otot uterus yang kuat. Efek farmakologi ini akan menguntungkan bila diperlukan relaksasi otot uterus yang kuat untuk memanipulasi janin intrauterine selama masa persalinan. sebaliknya, selama dilatasi dan kuretase pada obortus terapeutik, obat anestetik tersebut mungkin dapat meningkatkan perdarahan.


 Toksisitas

a) Hepatotoksisitas (halotan)
Biasanya hepatitis pascabedah selalu dikaitkan dengan factor lain seperti transfuse darah, syok hipovolemik, atau stress bedah lainnya dibandingkan dengan toksisitas obat anestetik. Akan tetapi, obat halocarbon dapat menyebabkan kerusakan hati sedangkan kloroform telah dikenal sebagai anestetik hepatotoksik pada dasawarsa abad ini. Halotan telah diperkenalkan mulai tahun 1956 dan sampai tahun 1963 telah banyak dilaporkan berbagai kasus ikterus pascabedah dan nekrosis hati yang berhubungan dengan pemakaian halotan. Walaupun begitu, berbagai penilitian retrospektif mengenai halotan yang dibandingkan dengan anestetik lainnya tidak menunjukkan peningkatan insidens kerusakan hati pascabedah dengan halotan.

b) Netrotoksisitas
Tahun 1966, pertama kali dilaporkan adanya penderita poliuri inufisiensi ginjal yang resisten terhadap vasopressin pada 13 dari 41 penderita yang mendapat anestetik metoksifluran untuk operasi abdomen. Akhirnya, diketahui penyebabnya adalah fluoride inorganic yang merupakan produk akhir biotranspormasi metoksifluran.

c) Hipertermia berat
Walaupun jarang ditemukan, kemungkinan pada penderita yang rentan secara genetic yang terpapar anestetik inhalasi yang dapat terjadi sindrom yang bersifat letal secara potensial, yang meliputi takikardia dan hipertensi dengan asidosis yang progresif, hiperkalemia, kejang otot, dan hipertermia. Mula kerja ini terlihat jika subsinilkolin dipakai untuk merelaksasi otot. Pengobat dengan dentrolen intra vena dengan ukuran yang tepat untuk menurunkan suhu tubuh serta mengembalikan keseimbangan elektrolit dan asam basa.

d) Toksisitas kronik
 Mutagenisitas
 Kasinogenitas
 Efek pada reproduksi
 Hematotoksisitas

 Penggunaan klinik inhalasi
Dari semua obat anestetik inhalasi yang tersedia hitororegen oksida, desfluran, dan isofluran paling banyak dipergunakan di AS. Walaupun jarang digunakan pada orang dewasa. Halotan banyak digunakan pada anestesi anak. Nitrogen oksida tidak mempunyai kekuatan cukup untuk menimbulkan efek anestesi bila diberikan tersendiri. Umumnya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan anestetik inhalasi yang lainnya, atau kombinasi dengan anestetik intra vena untuk menimbulkan anestesi local.


D. Obat anestesi intravena

1. Barbitura kerja ultra singkat
Walaupun terdapat beberapa babiturat dengan masa kerja ultra singkat, tiopenta merupakan obat terlazim yang digunakan untuk induksi anestesi dan banyak dipergunakan dalam bentuk kombinasi anestetik inhalasi lainnya. Setelah pemberian secara intra vena, tiopenta akan melewati sawa darah otak secara tepat dan, jika diberikan pada dosis yang mencukupi, akan menyebabkan akan mengakibatkan hypnosis dalam waktu sirkulasi. Efek sama akan terlihat pada pemberian barbiturate dengan masa kerja ultra singkat lainnya seperti diamilan dan metoheksitan

2. Benzodiazepine
Anngota tertentu dalam kelompok obat sedative hypnosis seperti diazepam, lorazepam, dan midazolam, yang dipergunakan pada prosedur anestesi. (dasar-dasar farmakologi benzodiazepin) diazepam dan lorazepan tidak larut dalam air dan penggunaan intravenanya memerlukan vehikulum yang tidak encer, sehingga pemberian intravena dapat menyebabkan iritasi luka. Formulasi mudah larut dalam air dan kurang iritasi tetapih mudah larut dalam lemak pada pH fisiologis serta mudah melewati sawa darah otak.

3. Anestesi analgesic opioid
Dosis besar analgesic opioid telah digunakan untuk anestetik umum, terutana pada penderita operasi jantung atau operasi besar lainnya ketika sirkulasi dalam keadaan minimal. Pemberian morfin, secara intravena dengan dosis 1 sampai 3 per kg digunakan dalam keadaan sirkulasi yang berat.

4. Propofol
Merupakan salah satu anestetik intravena yang sangat penting. Propofol dapat menghasilkan anestesi kecepatan yang sama denga npemberian barbiturate secara inutravena, dan waktu pemulihan yang lebih cepat.

5. Etomidat
Etomidat merupakan imidazol karboksilasi yang digunakan untuk induksi anestesi dan teknik anestesi secara seimbang yang tidak boleh diberikan untuk jangka lama. Kelebihan utama dari anestestik ini yaitu depresi kardiovaskular dan repilasi yang minimal.

6. Ketamin
Ketamin menimbulkan anestesi disosiatif yang ditandai dengan kataton, amenesia, dan analgesia. Mekannisme kerjanya adalah dengan cara menghambat efek membrane eksitator neurotrasmiter asam glutamate pada subtype reseptor NMDA.




OBAT YANG DIGUNAKAN

1. Desfluran (suprane)
Cairan: 240 mL untuk inhalasi
2. Diazepam (generic,valium,dll)
Oral; tablet 2,5, 10 mg ; cairan 5 mg/ 5 mL
Oral lepas lambat; kapsul 15 mg
Parenteral; 5 mg/ mL untuk suntikan
3. Enfluran (ethrane)
Cairan : 125,250 mL untuk inhalasi
4. Etomizad (amidate)
Parenteral ;2 mg/ mL untuk suntikan
5. Halutan (generic, fluothane)
Cairan 125, 250 mL untuk inhalasi
6. Isofluran (floren )
Cairan 100mL untuk inhalasi
7. Ketamin (ketalan)
Parenteral; 10,15,100 mg/mL untuk suntikan
8. Lorazepam (generek, aktivam, alzavam)
Ora, tablet 0,5;1,2mg
Parenteral;2,4mg/ mL untuk sutikan
9. Meto hek sital (brevital sodium)
Parenteral: 0,5; 2,5;5 g, serbuk untuk suntikan
10. Mektoksifluran (penthrane)
Cairan ; 15,125 mL untuk inhalasi
11. Mizazolam (versed)
Parenteral;1,5mg/ mL untuk suntikkan dala vial, 1,2, 5 , 10 mL
12. Nitrogen oksida (gas, dalam tabung warna biru)
13. Kropopol (dirifan)
Parenteral: 10 mg/Ml dalam 20 mL vial untuk suntika
14. Tiamilar (surital)
Parenteral : cairan untuk injeksi dalam vial 1,5, 10 g
15. Thiopental (penthoal)
Parenteral: 250, 400, 500 mg diisi dalam suntikan ; 500mg dan 1 g cairan dengannya ; 1, 2, 5, 5g kits
Parental : 400 mg cairan diisi dalam suntikan .





BAB III
ANESTESI LOKAL

A. Farmakologi dasar anestesis local

Kimiawi
Umumnya obat anestesis lokal terdiri dari sebuah gugus lipolifit (biasanya sebuah cincin aromatik) yang diberikatan dengan sebuah rantai perantara (umumnya termasuk suatu ester atau sebuah amida) yang terikat pada satu gugus terionisasi. Aktivitas optimal memerlukan keseimbangan yang tepat antara gugus lipofilik dan kekuatan hidrofilik. Penambahan sifat fisik molekul, maka konfirgurasi stereokimia specifik menjadi penting, misalnya perbedaan potensi stereoisomer telah diketahui untuk beberapa senyawa. Karena ikatan ester (seperti prokain) lebih mudah terhidrolisis dari ikatan amida, maka lama kerja ester biasanya lebih singkat.

1. Farmakokinetik
Anestesi lokal biasanya diberikan secara suntikan ke dalam daerah serabut saraf yang akan menghamba. Oleh karena itu, penyerapan dan distribusi tidak terlalu penting dalam memantau mula kerja efek dalam menentukan mula kerja anestesi dan halnya mula kerja anestesis umum terhadap SPP dan toksisitasnya pada jantung. Aplikasi topikal anestesi lokal bagaimanapun juga memerlukan difusi obat guna mula keja dan lama kerja efek anestesinya.
 Absorbsi
Absorbsi sistemik suntikan anestesi lokal dari tempat suntikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain dosis, tempat suntikan, ikatan obat jaringan, adanya bahan vasokonstriktor, dan sifat fisikokimia obat. Aplikasi anestesi lokal pada daerah yang kaya vaskularisasinya seperti mukosa trakea menyebabkan penyerapan obat yang sangat cepat dan kadar obat dalam darah yang lebih tinggi dibandigkan tempat yang perfusinya jelek, seperti tendo. Untuk anestesi regio yang menghambat saraf yang besar, kadar darah maksimum anestesi lokal menurun sesuai dengantempat pemberian yaitu: interkostal (tertinggi) > kaudal > epidural > pleksus brankialis > saraf insciadikus (terendah).
Bahan vasokonstriktor seperti epinefrin mengurangi penyerapan sistematik anestesi lokal dari tempat tumpukan obat dengan menguragi aliran darah di daerah ini. Keadaan ini menjadi nyata terhadap obat yang massa kerjanya singkat atau menengah seperti prokain, lidokain, dan mepivakain (tidak untuk prilokain). Ambilan obat oleh saraf diduga diperkuat oleh kadar obat lokal yang tinggi ,dan efek dari toksik sistemik obat akan berkurang karena kadar obat yang masuk dalam darah hanya 1/3-nya saja
 Distribusi
Anestesi lokal amida disebar meluas dalam tubuh setelah pemberian bolus intravena. Bukti menunjukkan bahwa penyimpanan obat mungkin terjadi dalam jaringan lemak.setelah fase distribusi awal yang cepat, yang mungkin menandakan ambilan ke dalam organ yang perfusinya tinggi seperti otak, ginjal, dan jantung, dikuti oleh fase distribusi lambat yang terjadi karena ambilan dari jaringan yang perfusinya sedang, seperti otot dan usus. Karena waktu paruh plasma yang sangat singkat dari obat tipe estesr (lihat bawah), maka distribusinya tidak diketahui.
 Metabolisme dan ekskresi
Anestesi lokal diubah dalam hati dan plasma menjadi metabolit yang mudah larut dalam air dan kemudian diekskresikan ke dalam urin. Karena anestesi lokal yang bentuknya tak bermuatan mudah berdifusi melalui lipid, maka sedikit atau tidak ada sama sekali bentuk netralnya yang diekskresikan kerana bentuk ini tidak mudah diserap kembali oleh tubulus ginjal.
Tipe ester anestesi lokal dihidrolisis sangat cepat di dalam darah oleh butirilkolinesterase (pseudokolinesterase). Oleh karena itu, obatini khas sekali mempunyai waktu paruh yang sangat singkat, kurang dari 1 menit untuk prokain dan kloroprokain.
Penurunan pembersihan anestesi lokal leh hati ini harus diantisipasi dengan menurunkan aliran darah kehati. Sebagai contoh, pembersihan lidokain oleh hati pada binatang yang dianestesi dengan halotan lebih lambat dari pengukuran binatang yang diberi nitrogen oksida dan kurare. Penurunan pembersihan ini berhubungan penurunan aliran darah ke dalam hati dan penekanan mikrosom hati karena halotan. Propranolol dapat memperpanjang waktu paruh anestesi lokal amida.

2. Farmakodinamik

 Mekanisme kerja

Membran yang mudah terangsang dari akson saraf, mirip dengan membran otot jantung dan badan sel saraf, mempertahankan pontesial transmembran sekitar-90 sampai-60 mV. Saluran natrium terbuka, dan arus natrium yang masuk cepat kedalam sel dengan cepat mendeplorisasi membran ke arah keseimbangan potensial natrium (+40). Sebagai akibat ari deplorisasi ini, maka saluran natrium menutup (inaktif) dan saluran kalium terbuka. Alran kalium keluar sel ,mendeplorisasi membran ke arah keseimbangan potensial kalium (sekitar-95 mV); terjadi lagi repolarisasi saluran natrium menjadi keadaan istirahat. Sifat ini mirip dengan yang terjadi pada jantung, dan anestesi lokalpun mempunyai efek yang sama pada kedua jaringan tersebut.
Fungsi saluran natrium dapat diganggu dengan beberapa cara. Racun biologi seperti batrakotoksin, aksonitin, veratidin, dan beberapa bisa skorpion meningkat reseptor di dalam saluran dan mencegah inaktivasinya. Akibatnya influks natrium ke dalam sel lebih lama melalui saluran dibandingkan dari hambatan konduksi, sehingga beberapa peneliti menyatakan bahwa zat diatas sebagai agonis pada saluran natrium. Racun larut tetrodoktosin dan saksitoksin menghambat saluran ini dengan berikatan pada reseptor saluran dekat permukaan ekstrasel. Efek kliniknya sepintas mirip dengan efek anestesi lokal walaupun bagian reseptornya agak beda. Anestesi lokal meningkatkan reseptor ujung intrasel saluran adanya bahan vasokonstriksiktor, dan sifat fisikokimia obat. Aplikasi anestesi lokal pada daerah yang kaya askularisasinya seperti mukosa trakea menyebabkan penyerapan obat yang sangat cepat dan kadar obat dalam darah yang lebih tinggi dibandingkan tempat yang diperfusinya jelek, seperti tendo.
Bila peningkatan konsentrasi secara progresif anestesi lokal digunakan pada satu serabut saraf, nilai ambang eksitasinya meningkat, konduksi impuls melambat, kecepatan munculnya potensial aksi mengecil,dan akhirnya kemapuan melepas satu potensial aksila hilang. Efek yang bertambah tadi merupakan ikatan anestesi lokal terhadap banyak dan makin banyak saluaran natrium. Jika arus ini dihambat mebilih titik krirts saraf, maka propagasi yang melintas daerah yang dihambat ini tidak mungkin terjadi lagi. Pada dosis terkecil yang dibutuhkan untuk menghambat ropagasi, potensial istirahat.
Di antara depolarisasi akson, sebagian saluran natrium pulih dari penghambat obat yang ini 10-100 kali lebih lambat dari pada kepulihan saluran dari inaktivasi normal, seperti yang nampak pada membran jantung. Akibatnya, masa refrakter diperpanjang dan saraf hanya dapat menyalurkan sedikit impuls saja.
Walaupun anestesi lokal dapat dibukitan menghambat sejumlah saluran lainnya, termasuk saluran sinaptik perantara kimiawi, belum ada bukti yang menyakinkan bahwa kerja demikian berperan penting pula dalam efek klinik dari obat anestesi lokal. Namun, penelitian percobaan pada seabut saraf dan sel otot jantung menunjukkan bahwa obat yang memperpanjang potensial aksi dapat meningkatkan dengan jelas kepekaan saluran natrium terhadap penghambatan anestesi lokal (Drachman, 1991). Hal ini dapat diterangakan dengan pengamatan uraian di atas, yaitu afinitas saluran yang disktifkan dan diinaktifkan terhadap anestesi lokal lebih besar dari pada afinitas saluran dalam keadaan isirahat.

Karakteristik struktur-aktivitas anestesi lokal
Makin kecil dan makin banyak molekul lipofilik, makin cepat pula kecepatan interaksi dengan reseptor saluran natrium. Potensi mempunyai hunbungan positif pula dengan larutan lipid selama obat menahan kelarutan air yang cukup untuk berdifusi ke tempat kerja. Lidokain, prokain, dan mepivakin lebih larut dalam air dibandingkan tetrakain, etidokain, dan bupivakain. Obat yang terakhir lebih kuat dengan masa kerja yang panjang.obat terikat lebih ekstensif pada protein dan akan menggeser atau digeser dari tempat ikatannya oleh obat-obat lain.
 Aksi terhadap saraf
Karena anestesi lokal mampu menghambat semua saraf, maka kerjanya tidak saja terbatas pada hilangnya sensasi sakit dan nyeri yang diinginkan. Walaupun kelumpuhan motor pada suatu saat diperlukan juga, namun keadaan demikian membatasi kemapuan pasien untuk kerja sama, misalnya selama persalinan. Selama anestesi sinal, kelumpuhan motor justru merusak aktivitas pernapasan dan penghambatan saraf otonom dapat menimbulkan hipotensi, namun demikian,perbedaan tipe serabut saraf akan membedakan dengan nyata kepekaannya terhadap penghambatan anestesi lokal atas dasar pengukuran dan mielinasi.

 Efek diameter serabut
Anestesi lokal lebih mudah menghambat serabut ukuran kecil karena jarak dimana propragasi suatu impuls listrik merambat secara pasif pada serabut tadi (berhubungan dengan kostan ruang) jadi lebih singkat. Selama mula kerja anestesi lokal, bila bagian pendek serambut dihambat, maka serabut berdiameter kecil yang pertama kali gagal menyalurkan impuls. Terhadap serabut bermielin, setidaknya tiga nodus berturut-turut dihambat oleh anestesi lokal untuk menghentikan propagasi impuls. Makin tebal serabut saraf, makin terpisah jauh nodus tadi-yang menerangkan, sebagian tahanan yang lebh besar tadi. Saraf bermielin cenderung dihambat sebelum saraf yang tidak bermielin pada ukuran yang sama. Dengan alasan ini, serabut preganglionik B dapat dihambat sebelum serabut C kecil yang tidak bermielin.
 Efek frekuensi letupan
Alasan penting lain terhadap mudahnya penghambatan serabut sensoris mengikuti langsung dari mekanisme kerja yang bergantungpada keadaan anestesi lokal. Hambatan oleh obat anestesi lokal dan makin lamanya depolarisasi. Serabut sensoris, terutama serabut nyeri, ternyata berkecepatan letupan tinggi dan lama potensi aksi yang relatif lama (medekaiti 5 milidetik). Serabut motor meletup pada kecepatan yang lebih lambat dengan potensial aksi yang singkat (0,5 milidetik). Serabut delta dan C adalah serabut berdiameter kecil yang terlibat pada transmisi nyeri berfrekuensi tinggi. Oleh karena itu, serabut ini dihambat lebih dahulu dengan anestesi lokal kadar rendah dari pada serabut A alfa.
 Efek posisi saraf dalam bundel saraf
Susunan anatomi serabut menciptakan pula aturan tertentu seperti di atas dengan perkeculian terhambatan berbagai serabut yang terletak di bagian tepi bundel. Pada sekumpulan saraf yang besar, saraf motor biasanya terletak melingkari bundel. Dan oleh karena itu saraf ini akan terpapar lebih dahulu bila anestesi lokal diberikan secara suntikan kedalam jaringan sekitar saraf. Akibatnya, bukan tidak mungkin saraf motor akan terhambat sebelum [enghambatan motor dalam bundel besar. Pada ektrimitas, serabut sensoris proksimal terletak menyelimuti badan saraf, di mana persarafan sensoria distal terletak di tengah. Jadi, selama infiltrasi hambatan saraf besar, anestesi menyebar ke distal sesuai dengan penetrasi obat ke dalam bagian tengah bundel saraf.

 Efek terhadap membran yang mudah terangsang lainnya
Anestesi lokal mepunyai efek menghambat tot saraf yang lemah dan tidak begitu penting dalam klinik. Namun, efeknya terhadap membran sel otot jantung mempunyai makna klinik yang penting. Beberapa berguna sebagai obat antiaritmia pada kadar rendah dibandingkan kadarnya untuk menghambat saraf, dan semua anestesi lokal dapat menimbulkan aritmia pada kadar yang cukup penting.

B. Farmakologi klinik anestesi lokal
Anestesi lokal menyebabkan analgesia sementara tetapi lenkap dari bagian tubuh yang berbatas tegas. Cara pemberian biasanya dengan aplikasi topikal, suntikan pada daerah akhiran saraf perifer dan bundel batang saraf dan instilasi ke dalam jaringan epidural dan ruang subarakhnoid yang mengelilingi medula spinalis. Selain itu, hambatan serabut simpatis otonom dapat digunakan untuk mengevaluasi peran tonus simpatis pada pasien dengan vasopasme perifer.
Pilihan anestesi lokal untuk prosedur tertentu biasanya atas lama kerja obat yang dibutuhkan. Prokain dan kloroprokain bekerja singkat: lidokain, mepivakain, dan prilokain masa kerjanya mengah sedangkan tetrakain, bupivakain, dan etiokain bekerja lama.
Mulai kerja anestesi lokal kadang dapat dipercepat dengan menggunakan larutan jenuh dengan CO2 (karbonasi) kadar CO2 jaringan yang tinggi menyebarkan asidosis intraselular (CO2 mudah melintas membran), yang kemudian menimbulkan tumpulkan bentuk kation anestesi lokal.

1. Toksisitas
Seharusnya obat anestesi lokal diserap dari tempat pemberian obat. Jika kadar obat dalam darah meningkat terlalu tinggi, maka akan timbul efek pada berbagai sistem organ.
 Sistem saraf pusat
Sejak zaman prasejarah, penduduk asli peru telah mengunyah daun tumbuhan erythoxylon coca, sumber kokain, untuk, untuk memperolehperasaan nyaman dan menguragi keletihan. Efek SSP yang kuat dapat diperoleh dengan menyedot bubuk kokain. Kokain kini telah menjadi satu penyalahgunaan obat yang paling banyak digunakan. Anestesi lokal lainnya tidak memiliki efek euforia kokain. Namun, beberapa penelitian menunjukkan b ahwa beberapa pemakai ketagihan kokain tidak dapat membedakan antara pemberian kokain intranasal dengan lidokain intranasal.
Efek SSP lainnya termasuk ngantuk, kepala terasa ringan, gangguan visual dan pendengaran, dan kecemasan. Pada kadar yang lebih tinggi, akan timbul pula nistagmus dan mengigil. Akhirnya kejang toni klonik yang terus menerus diikuti oleh depresi SSP dan kematian yang terjadi untuk semua anestesi lokal termasuk kokain. Anestesi lokal nampaknya depresi jalur penghambatan kortikal, sehingga aktivitas komponen eksitasi sisi sepihak akan muncul. Tingkat transisi eksitasi tak seimbang ini akan diikuti oleh depresi SPP umumnya bila kadar anestesi lokal dalam darah lebih tinggi lagi.

Reaksi toksik yang paling serius dari obat anestesi lokal yang timbulnya kejang karena kadar obat dalam darah yang berlebihan. Keadaan ini dapat dicegah dengan hanya memberikan anestesi lokal dalam dosis kecil sesuai dengan kebutuhan untuk anestesi yang adekuat saja. Bila harus diberikan dalam dosis besar, maka perlu ditambahkan premedikasi dengan benzodiazepin; seperti diazepam, 0,1-0,2 mg/kg parenteral untuk mencegah bangitan kejang. Bila kejang sudah terjadi, maka perlu untuk mencegah hipoksemia dan asidosis. Walaupun pemberian oksigen tida dapat mencegah hiperroksemia setelah munculnya kejang. Sebaliknya, hiperkapnia dan asidosis turut memperberat kejang. Hiperventilasi dapat meningkatkan pH darah, yang kemudian akan menurunkan kadar kalium ekstrasel. Hal ini akan menghiperpolarisasi potensial transmembran akson, yang cocok untuk keadaan istirahat atau afinitas rendah saluran natrium, sehingga toksisitas anestesi lokal berkurang.
Kejang akibat anestesi lokal dapat diobati pula dengan barbiturat kerja singkat dosis kecil, seperti tiopental, 1-2 mg/kg secara intravena, atau azepam, 0,1 mg/kg intravena. Manifestasi otot dapat ditekan dengan obat penyakat otot saraf kerja singkat, seperti suksinilkolin tidak memperbaiki menifestasi kortikal pada EEG pada kasus pemberian suksinilkolin dan ventilasi mekanik dapat mencegah aspirasi paru dari cairan lambung dan mempermudah terapi hiperventilasi.


 Sistem saraf perifer (neurotoksisitas)
bila diberikan dalam dosis yang sangat berlebihan, semua anestesi lokal akanmenjadi toksik terhadap jaringan saraf. Beberapa laporan menunjukkan kasus defesit sensoris dan motor yang belanjut setelah kecelakan anestesi spinal dengan klopoprokain volume besar. Apakah klopoprokain memang lebih neurotoksik dibandingkan denga anestesinya belum bisa dipastikan.
 Sistem kardiovaskuler
Efek kardiovaskular anestesi lokal akibat sebagian dari efek langsung terhadap jantung dan menbran otot polos serta dari efek secara tidak langsung melaluai saraf otonom. Seperi uraian dalam anestesi lokal menhambat saluran natrium jantung sehingga menekan aktivitas pacu jantung, eksitabilitas, dan konduksi jantung menjadi normal. Dengan perkecualian kokain, obat anestesi lokal menekan pula kekuatan kontaksi jantung sehingga terjadi dilatasi arteriol, di mana kedual efek ini akan menimbulkan hipotensi. Walaupun kolaps kardiovakular dan kematian biasanya timbul setelah pemberian dosis yang sangat tinggi, kadang-kadang dapat pula terjadi dalam dosis kecil yang diberikan secara anestesi inflitrasi.

Seperti catatan di atas, kokain berbeda dengan anestesi lain dalam hal efek kardiovaskularnya. Hambatan ambilan kembali norepineprin dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi. Kokain dapat pula menyebkan aritmia jantung. Efek vasokostriksi kokain akan menimbulkan iskemia pada mukosa hidung, dan pada pemakai jangka panjang, bahkan dapat terjadi tukak lapisan mukosa dan kerusakan eptum hidung. Sifat vasokonstriksi kokain ini dimanfaatkan secara klinik untuk mengurangi perdarahan akibat kerusakan mukosa nasofaring.
Bupivakain lebih kardiotoksik daripada anestesi lokal lainnya. Beberapa kasus menunjukkan bahwa kelalaian suntikan bupivakain intravena intravena tidak saja menyebabkan kejang tetapi juga kolaps kardiovaskular, di mana tindakan resusitasi sangat sulit dilakukan dan tidak akan berhasil. Beberapa penilitian pada binatang sepakat tentang ide bahwa bupivakain memang lebih toksik bila diberikan secara intervena dibandingkan anestesi lokal lainnya. Hal ini menggambarkan bahwa saluran natrium bupivakain sangat diperkuat oleh masa kerja yang kuat dan sangat lama pada seln jantung (dibandingka serabut saraf lain), dan tidak seperti lidokain, bupivakain menumpuk jelas pada denyut jantung normal. Penelitian berikutnya menunjukkan bahwa gambaran EKG yang sangat umum pada pasien yang diberi bupivakain ternyata irama idioventrikular melambat dengan kompekls QRS yang melebar dan disosiasi elektromekanik. Resusitasi pernah berhasil dengan bantuan kardiopulmoner standar- termasuk koreksi asidosis yang jitu dengan hiperventilasi dan pemberian bikarnoat-dan pemberian epineprin, atropin, dan bretilium yang agresif. Ropivakain adalah anestesi lokal amida yang baru dan masih diteliti dengan efek anestesi lokalnya sama dengan bupivakain. Bukti awal menunjukkan bahwa toksisitas kardiovaskularnya lebih kecil daripada bupivakain.
 darah
Pemberian prilokain dosis besar (>`10mg/kg) selama anestesi regional akan menimbulkan penumpukan metabolit toluidin, suatu zat pengoksidasi yang. Bila kadar methemoglobin ini cukup besar (3-5 mg/dL), maka pasien akan nampak sianotik dan warna menjadi coklat. Kadar methemoglobin demikian menimbulkan dekompensasi pada pasien dengan penyakit jantung atau paru sehingga perlu pengobatan segera. Tindakan untuk menguragi kadar methemoglobin dengan metilin biru, asam askobat, kurang memuaskan, dapat diberikan secara intravena agar methemoglobin segera dikonversi menjadi hemoglobin.
 Reaksi alergi
Anestesi lokal tipe ester dimetabolisir menjadi turunan asam p aminobenzoat. Metabolit ini dapat menimbulkan reaksi alergi pada sekelompok kecil populasi. Amida tidak dimetabolisir menjadi asam p- aminobenzoat, sehingga reaksi alergi tipe amida ini sangat jarang sekali terjadi



OBAT YANG TERSEDIA

1. Benzokain (generik,lain-lain) Topikal: krim 5,6%; 6,20%; salep 5%; lotion 0,5%; semprot20%
2. Bupivakain (generik, marcaine, sensorcaine) Parentetal: 0,25, 0,5, 0,75% untuk disuntik; 0,25, 0,5, 0,75% dengan 1:200000
3. Butamben pikrat (butesin picrate) Topikal: salep 1%
4. Kloroprokain (nesacaine) Parentetal: 1,2,3,% untuk suntikan
5. Kokain (generik) Topikal: larutan 40, 100 mg/ml: bubuk 5,25g; tablet mudah larut 135 mg
6. Dibukain (generik, nupercainal) Topikal : krim 0,5%; salep 1%
7. Diklonin (dyclone) Topikal: larutan 0,5, 1%
8. Etidokain (duranest) Parental :1% untuk suntikan; 1, 1,5% dengan epinefrin 1:200000 untuk suntikan
9. Lidokain (generik,xylocaine, lainya) Parental: 0,5, 1, 1,5, 2, 4, 10, 20% untuk suntikan; 0,5, 1, 1,5, 2% dengan apinefrin 1:200000; 1,2% dengan epinefrin 1:100000;2% dengan epinefrin 1:50000 Topikal: salep 2,5, 5%; krim 5%; jelly dan larutan 2%; larutan 2, 4, 10%
10. Mepivakain (generik,carbocaine, lainya) Parental: 1, 1,5, 2, 3% untuk suntikan ;25 dengan levonordefrin 1:20000
11. Pramoksin (tronothane,prax) Topikal: krim 0,5, 1%;lotion dan gel 1%
12. Prilokain (citanest) Parental; 4% untuk suntikan,4% dengan epinefrin 1:200000
13. Prokain (generik,novocain) Parental; 1,2,10% untuk suntikan
14. Propoksikain dan prokain (revocaine dan novocain) Parental: 7,2 mg propoksikain dengan 36 mg prokain dan norepifrin atau kobefrin per 1,8 mL unit suntikan gigi
15. Tetrakain (pontocaine) Parental;1% untuk suntikan; 0,2, 03% dengan 6% dekstrosa untuk anestesi spinal
16. Topikal; salep 0,5%;larutan (oftalmik)0,5%; krim 1%; larutan untuk kumur2%.




BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan


1. Anestesi umum
 Stadium anestesi umum meliputi “analgesia, amnesia, hilangnya kesadaran”, terhambatnya sensorik dan reflex otonom, dan relaksasi otot rangka. Untuk menimbulkan efek ini, setiap obat anestesi mempunyai variasi tersendiri bergantung pada jenis obat, dosis yang diberikan, dan keadaan secara klinis. Anestetik yang ideal akan bekerja secara tepat dan baik serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan.

 Jenis obat anestesi umum.

Umumnya obat anestesi umum diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena.
• Anestetik inhalasi
• Anestetik intravena


 Tanda dan stadium anestesi
Gambaran tradisional tanda dan stadium anestesi (tanda guedel) berasal terutama dari penilitian efek diatil eter, yang mempunyai mula kerja sentral yang lambat karena kelarutannya yang tinggi didalam darah. Stadium dan tanda ini mungkin tidak mudah terlihat pada pemakaian anestetik modern dan anestetik intravena yang bekerja cepat.

 Secara tradisional, efek anestetik dapat dibagi 4 stadium peningkatan dalamnya depresi susunan saraf pusat, yaitu :
• Stadium analgesi
• Stadium terangsang
• Stadium operasi
• Stadium depresi medula oblongata



2. Anestesi local

 Anestesi lokal menghambat impuls konduksi secara revesibel sepanjang akson saraf dan membran eksitabel lainnya yang menggunakan saluran natrium sebagai alat utama pembangkit potensi aksi. Secara klinik, kerja ini dimamfaatkan untuk menghambat sensasi sakit dari-atau impuls vasokontstriktor simpatis ke-bagian tubuh tertentu. Kokain, obat anestesi pertama, yang diisolasi oleh niemann pada tahun 1860.

 Kimiawi
Umumnya obat anestesis lokal terdiri dari sebuah gugus lipolifit (biasanya sebuah cincin aromatik) yang diberikatan dengan sebuah rantai perantara (umumnya termasuk suatu ester atau sebuah amida) yang terikat pada satu gugus terionisasi. Aktivitas optimal memerlukan keseimbangan yang tepat antara gugus lipofilik dan kekuatan hidrofilik.

 Farmakokinetik
Anestesi lokal biasanya diberikan secara suntikan ke dalam daerah serabut saraf yang akan menghamba. Oleh karena itu, penyerapan dan distribusi tidak terlalu penting dalam memantau mula kerja efek dalam menentukan mula kerja anestesi dan halnya mula kerja anestesis umum terhadap SPP dan toksisitasnya pada jantung.

 Farmakodinamik
Mekanisme kerja
Membran yang mudah terangsang dari akson saraf, mirip dengan membran otot jantung dan badan sel saraf, mempertahankan pontesial transmembran sekitar-90 sampai-60 mV. Saluran natrium terbuka, dan arus natrium yang masuk cepat kedalam sel dengan cepat mendeplorisasi membran ke arah keseimbangan potensial natrium (+40). Sebagai akibat ari deplorisasi ini, maka saluran natrium menutup (inaktif) dan saluran kalium terbuka.